Alea bukan wanita biasa. Di balik pesonanya yang elegan, tersembunyi misi kelam dari sang ayah-bos kriminal yang haus kuasa. Target barunya: Arnan, pria berhati hangat yang ternyata anak dari musuh terbesar ayahnya. Tapi semuanya berubah saat Alea melihat dunia Arnan yang berbeda-penuh kebaikan, ketulusan, dan luka lama yang belum sembuh. Di tengah badai rahasia dan pengkhianatan, Alea mulai bertanya: Apakah ia sanggup menghancurkan seseorang yang justru mulai mengobati jiwanya? Di dunia yang dipenuhi bayang-bayang dan darah, cinta adalah satu-satunya jalan untuk bertahan-atau justru senjata terakhir yang akan menghancurkan mereka.
Arnan's POV
Malam itu, di tengah derasnya hujan yang membasahi kota, aku melihatnya.
Gadis itu-berdiri diam di depan sebuah kafe tua yang nyaris sepi, mengenakan gaun merah panjang yang menempel pada kulit pucatnya karena basah. Gaun itu terlalu tipis untuk cuaca seperti ini. Rambut panjangnya yang hitam legam menempel di wajah dan lehernya, dan tak ada sepatu di kakinya yang mungil. Tak ada tas. Tak ada payung. Seolah ia baru saja turun dari langit dengan membawa luka yang tak kasat mata.
Hanya bibir merahnya yang mencolok di antara pucat wajahnya-seperti titik nyala di tengah kelabu malam. Bahkan lampu jalan tampak enggan menyinari sosoknya, seperti membiarkannya tetap tersembunyi di balik tirai hujan.
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Rasanya... dunia berhenti. Waktu menjadi beku, dan suara hujan terdengar seperti nyanyian sunyi. Dalam hati, aku bertanya: siapa dia? Dan mengapa aku merasa seolah sudah mengenalnya?
Tanpa sadar, aku mengambil payung dan sepatuku dari dalam kantor. Langkahku ringan menembus hujan, seakan ada sesuatu yang menuntunku. Mungkin intuisi, atau mungkin... takdir.
Sesampainya di hadapannya, aku berdiri diam, terpaku. Dia tak menggubris kehadiranku, hanya memeluk dirinya sendiri, seperti tengah melindungi sisa-sisa hangat yang masih ia punya. Matanya sembab. Butiran air menetes dari ujung rambutnya, dan untuk sesaat aku tak bisa membedakan mana air mata dan mana hujan.
"Apa kau membutuhkan payung? Atau... sepatu? Kau basah kuyup," ucapku pelan, mencoba terdengar ramah meski jantungku berdetak tak karuan.
Perlahan, dia menoleh. Tatapannya... tajam tapi rapuh. Mata sendu itu menyimpan ratusan kisah yang belum terucap. "Aku kehilangan ibuku..." bisiknya. Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Aku menyodorkan payung padanya, lalu jongkok dan memakaikan sepatuku di kakinya. Sepatu itu jelas terlalu besar, tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Hatiku terasa nyeri melihat kaki-kaki mungilnya kedinginan begitu rupa.
"Kalau kau mau... aku bisa mengantar pulang. Atau memanggilkan taksi."
Dia menggeleng. Tiba-tiba, payung itu dijatuhkannya, dan tubuhnya memelukku erat-hangat, basah, rapuh. Aku membeku. Sekujur tubuhku menegang, tapi tak mampu menolak.
"Bawa aku pulang ke rumahmu..."
Aku ragu. Otakku mencoba berpikir jernih-siapa dia? Hantu? Penipu? Atau seseorang yang dikirim takdir untuk menghancurkanku?
"Aku tidak punya tempat tinggal," katanya lagi, seolah mendengar keraguan hatiku.
Mungkin aku gila. Tapi aku tak tega membiarkannya sendirian malam ini. Jika aku harus mati di tangan gadis ini, mungkin... itu bukan akhir yang buruk.
---
Dalam mobil, dia menggigil. Kutanggalkan jasku dan kuselimuti tubuhnya. Ia menerima dengan diam, dan untuk pertama kalinya kulihat wajahnya agak tenang.
"Kau akan sakit jika tetap seperti ini," ucapku sambil menyetir perlahan. Dia menoleh, tersenyum lemah.
"Terima kasih..."
"Apa kau tidak takut bersamaku? Aku pria asing."
"Justru karena kau berkata seperti itu, aku tahu kau tak berniat menyakiti."
Aku terdiam. Tanganku mengepal di setir. Aku menoleh ke spion dan kembali melihat dua mobil hitam yang sejak tadi mengikutiku. Aku sempat mengira mereka hanya lewat, tapi arah dan jaraknya terlalu konsisten.
"Mobil itu mengikutiku, bukan?" tanyaku, lebih ke diri sendiri.
Dia hanya melirik. "Perasaanmu saja, mungkin."
Namun, beberapa detik kemudian, mobil itu berbelok dan hilang dari pandangan. Aku memutuskan untuk menunda rasa curiga.
Kami tiba di rumah kecilku, bangunan sederhana di pinggiran kota. Rumah ini hasil kerja keras selama lima tahun, meski masih belum lunas.
"Sudah sampai," kataku. Dia diam. Matanya terpejam. Tidur? Atau hanya pura-pura? Aku tak tahu, yang jelas saat ini aku hanya berniat membantunya.
Perlahan, kuangkat tubuhnya dari mobil. Dia terlalu ringan. Terlalu hening. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa... terluka bahkan sebelum mengenalnya.
---
Kubaringkan dia di kasur sempitku. Gaunnya masih basah. Aku tahu aku seharusnya tak memandang, tapi ada sesuatu yang... menarik. Luka, mungkin. Atau kesedihan yang menyeruak dari tiap inci tubuhnya.
Aku masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan pikiranku. Saat keluar, aku dikejutkan oleh pemandangan yang membuat napasku tercekat.
Dia berdiri di dekat pintu kamar mandi, mengenakan kemeja putih milikku. Kemeja itu terlalu besar dan terlalu tipis. Tubuhnya samar terlihat di balik kain.
"Sstt," bisiknya sambil menempelkan telunjuk ke bibirku. "Aku pinjam bajumu hari ini ya?"
Dia tersenyum, lalu duduk kembali di kasur. Seolah semua ini normal. Seolah kami sudah saling mengenal bertahun-tahun.
"Kau juga harus ganti pakaian. Nanti kau masuk angin," katanya.
Aku buru-buru mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi lagi. Saat keluar, dia sedang menatap foto-foto masa kecilku.
"Bajumu terlalu tipis... bisa kau pakai yang lebih gelap? Di lemari sebelah kiri," pintaku sambil menutup mata.
"Oh, maaf!" katanya cepat. Tapi anehnya, dia tetap berganti pakaian di hadapanku. Aku benar-benar kacau. Aku segera berbalik membelakanginya.
"Sudah selesai, tak perlu membelakangi ku lagi."
Aku berbalik setelah menghela nafas panjang. Kupikir gadis ini sedikit kacau dengan pikirannya atau memang dia sengaja berbuat seperti ini aku pun tak tahu
"Namamu siapa?" tanyaku. Dia menatapku dan tersenyum. "Alea." Setelah itu dia duduk bersila, tampak seperti anak kecil yang memakai pakaian orang dewasa. Wajahnya berubah lebih lembut.
"Aku ingin minta maaf sudah menyusahkanmu. Kau pria yang baik. Menjaga matamu, juga pikiranmu. Mungkin... aku sedikit tertarik padamu."
Aku tercekat. Hatiku berdebar, tapi logikaku menahan euforia itu. "Aku melakukan ini pada siapa saja, jadi jangan merasa istimewa."
"Tenang, aku tahu. Aku yang tertarik, bukan kamu."
Sial. Dia gila. Dan aku... lebih gila karena membiarkannya tetap di sini.
"Kau bilang ibumu meninggal?"
"Iya. Karena ayahku. Dia orang jahat. Aku membencinya," jawabnya lirih.
Aku mengangguk pelan. "Aku turut berduka. Aku juga kehilangan ibu di usia 14. Dan ayahku... tidak datang ke pemakaman. Sampai sekarang aku tak pernah melihat kehadirannya lagi. Entah dia sudah tiada atau masih hidup di luar sana aku pun tak tahu."
"Tapi kau mengenal Ayahmu bukan?"
"Entahlah, kalau saja dia operasi plastik mungkin aku tak mengenal wajahnya lagi. Karena kami tidak berjumpa 15 tahun lamanya..."
"Eh... Maaf aku terlalu banyak cerita padamu. "
Dia tersenyum. Kami saling diam. Hanya suara hujan dan jam dinding yang berdetak pelan.
Aku akhirnya mengambil selimut dan tidur di lantai. Tapi sebelum tidur, aku menoleh ke arah jendela. Mobil hitam itu-terparkir tak jauh dari rumah. Saat kutoleh ke Alea, dia termenung. Tatapannya jauh, tapi wajahnya terlihat damai. Saat kutatap ke luar lagi... mobil itu telah menghilang.
"Arnan..." panggil Alea pelan. Aku menoleh cepat. Dia tahu namaku. Padahal aku belum pernah memberitahunya.
Corinne devoted three years of her life to her boyfriend, only for it to all go to waste. He saw her as nothing more than a country bumpkin and left her at the altar to be with his true love. After getting jilted, Corinne reclaimed her identity as the granddaughter of the town’s richest man, inherited a billion-dollar fortune, and ultimately rose to the top. But her success attracted the envy of others, and people constantly tried to bring her down. As she dealt with these troublemakers one by one, Mr. Hopkins, notorious for his ruthlessness, stood by and cheered her on. “Way to go, honey!”
Due to the plight of her family, Phoebe had no choice but to embark on the path of selling herself. In an accident, she had a tangled night with Alexander. Everything began to derail, and even if she fled to the ends of the earth, she would still be found by him and entangled... *** Phoebe screamed in frustration, "What do you want from me?" What was this supposed to be? He raised an eyebrow wickedly. "What do I want? You'll find out soon enough." With that, he hoisted her up and carried her back into the office. The door slammed shut with a kick, and he cleared the desk with a sweep of his arm before laying her down on it, his body pinning hers in place, completely trapping her in his grasp. Every cell in his body was telling him he wanted her. He wanted to claim her again. This time, there would be no escape for her-he wouldn't let her slip away. Never again. If he had suffered for five years, then this woman wouldn't get off easily either!
6 years ago, Lydia suffered a brutal betrayal orchestrated by her own husband and step-sister, who drugged her and framed her. In a twist of fate, she ended up having a one-night stand with a stranger. Don't even remember what he looked like. Later, in the throes of death, she discovered the truth about her mother's death all those years ago. In the blink of an eye, she lost everything. 6 years later, Lydia returned with her genius son, vowing to exact revenge on all her enemies! Little did she know, she encountered an incredibly familiar man at the airport! *** The man was briskly pushing open the door to the restroom, heading to the urinal. Even with such a mundane action, he did it with unparalleled elegance and grace. Lydia, following him in a daze, saw his fierce lower body and suddenly snapped back to reality. She let out a high-pitched scream, instinctively covering her eyes with her hands, her cheeks flushed, and stood there stiffly, unsure of what to do. Lambert furrowed his brows slightly but remained calm as he continued to relieve himself. The sound of water hitting the urinal made Lydia's face even redder. She angrily shouted, "You pervert!" Little did Lydia know that Lambert, seeing her in this state, had a flicker of recognition in his eyes. Memories from many years ago flashed through his mind, and his heart couldn't help but stir. It was her!
"Is it considered betrayal to develop feelings for your best friend's boyfriend? What about when fate intervenes, and he turns out to be your destined mate? You might think it's luck and thank the moon goddess for such a twist of fate. That's what I believed until the love of my life uttered those dreaded words: 'I want a divorce!' As I stared at the pregnancy test in my hands, I realized it was better to keep my secret to myself. My name is Violet, and this is my story."
Everyone was shocked to the bones when the news of Rupert Benton's engagement broke out. It was surprising because the lucky girl was said to be a plain Jane, who grew up in the countryside and had nothing to her name. One evening, she showed up at a banquet, stunning everyone present. "Wow, she's so beautiful!" All the men drooled, and the women got so jealous. What they didn't know was that this so-called country girl was actually an heiress to a billion-dollar empire. It wasn't long before her secrets came to light one after the other. The elites couldn't stop talking about her. "Holy smokes! So, her father is the richest man in the world?" "She's also that excellent, but mysterious designer who many people adore! Who would have guessed?" Nonetheless, people thought that Rupert didn't love her. But they were in for another surprise. Rupert released a statement, silencing all the naysayers. "I'm very much in love with my beautiful fiancee. We will be getting married soon." Two questions were on everyone's minds: "Why did she hide her identity? And why was Rupert in love with her all of a sudden?"
I'm a Luna. After three years of marriage to Alpha Nathaniel Blackwood, I'm finally pregnant with his pup. But he's unclaimed me for his first love. I'm leaving the pack with this secret, praying he never finds out. Nathaniel Blackwood is a handsome, powerful Alpha. In a world where humans and werewolves coexist, he has it all: a billion-dollar empire, untold power, a massive pack, and, most importantly, the perfect Luna. But the return of his first love shattered our marriage. When he finds out the secret I've been hiding, will he regret rejecting me? Will I ever be able to forgive him? Dive into this gripping serialized novel to find out more-Enjoy the ride!