Get the APP hot
Home / Romance / Run Away
Run Away

Run Away

5.0
5 Chapters
Read Now

About

Contents

Alea bukan wanita biasa. Di balik pesonanya yang elegan, tersembunyi misi kelam dari sang ayah-bos kriminal yang haus kuasa. Target barunya: Arnan, pria berhati hangat yang ternyata anak dari musuh terbesar ayahnya. Tapi semuanya berubah saat Alea melihat dunia Arnan yang berbeda-penuh kebaikan, ketulusan, dan luka lama yang belum sembuh. Di tengah badai rahasia dan pengkhianatan, Alea mulai bertanya: Apakah ia sanggup menghancurkan seseorang yang justru mulai mengobati jiwanya? Di dunia yang dipenuhi bayang-bayang dan darah, cinta adalah satu-satunya jalan untuk bertahan-atau justru senjata terakhir yang akan menghancurkan mereka.

Chapter 1 Pertemuan dalam Hujan

Arnan's POV

Malam itu, di tengah derasnya hujan yang membasahi kota, aku melihatnya.

Gadis itu-berdiri diam di depan sebuah kafe tua yang nyaris sepi, mengenakan gaun merah panjang yang menempel pada kulit pucatnya karena basah. Gaun itu terlalu tipis untuk cuaca seperti ini. Rambut panjangnya yang hitam legam menempel di wajah dan lehernya, dan tak ada sepatu di kakinya yang mungil. Tak ada tas. Tak ada payung. Seolah ia baru saja turun dari langit dengan membawa luka yang tak kasat mata.

Hanya bibir merahnya yang mencolok di antara pucat wajahnya-seperti titik nyala di tengah kelabu malam. Bahkan lampu jalan tampak enggan menyinari sosoknya, seperti membiarkannya tetap tersembunyi di balik tirai hujan.

Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Rasanya... dunia berhenti. Waktu menjadi beku, dan suara hujan terdengar seperti nyanyian sunyi. Dalam hati, aku bertanya: siapa dia? Dan mengapa aku merasa seolah sudah mengenalnya?

Tanpa sadar, aku mengambil payung dan sepatuku dari dalam kantor. Langkahku ringan menembus hujan, seakan ada sesuatu yang menuntunku. Mungkin intuisi, atau mungkin... takdir.

Sesampainya di hadapannya, aku berdiri diam, terpaku. Dia tak menggubris kehadiranku, hanya memeluk dirinya sendiri, seperti tengah melindungi sisa-sisa hangat yang masih ia punya. Matanya sembab. Butiran air menetes dari ujung rambutnya, dan untuk sesaat aku tak bisa membedakan mana air mata dan mana hujan.

"Apa kau membutuhkan payung? Atau... sepatu? Kau basah kuyup," ucapku pelan, mencoba terdengar ramah meski jantungku berdetak tak karuan.

Perlahan, dia menoleh. Tatapannya... tajam tapi rapuh. Mata sendu itu menyimpan ratusan kisah yang belum terucap. "Aku kehilangan ibuku..." bisiknya. Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam suara hujan.

Aku menyodorkan payung padanya, lalu jongkok dan memakaikan sepatuku di kakinya. Sepatu itu jelas terlalu besar, tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Hatiku terasa nyeri melihat kaki-kaki mungilnya kedinginan begitu rupa.

"Kalau kau mau... aku bisa mengantar pulang. Atau memanggilkan taksi."

Dia menggeleng. Tiba-tiba, payung itu dijatuhkannya, dan tubuhnya memelukku erat-hangat, basah, rapuh. Aku membeku. Sekujur tubuhku menegang, tapi tak mampu menolak.

"Bawa aku pulang ke rumahmu..."

Aku ragu. Otakku mencoba berpikir jernih-siapa dia? Hantu? Penipu? Atau seseorang yang dikirim takdir untuk menghancurkanku?

"Aku tidak punya tempat tinggal," katanya lagi, seolah mendengar keraguan hatiku.

Mungkin aku gila. Tapi aku tak tega membiarkannya sendirian malam ini. Jika aku harus mati di tangan gadis ini, mungkin... itu bukan akhir yang buruk.

---

Dalam mobil, dia menggigil. Kutanggalkan jasku dan kuselimuti tubuhnya. Ia menerima dengan diam, dan untuk pertama kalinya kulihat wajahnya agak tenang.

"Kau akan sakit jika tetap seperti ini," ucapku sambil menyetir perlahan. Dia menoleh, tersenyum lemah.

"Terima kasih..."

"Apa kau tidak takut bersamaku? Aku pria asing."

"Justru karena kau berkata seperti itu, aku tahu kau tak berniat menyakiti."

Aku terdiam. Tanganku mengepal di setir. Aku menoleh ke spion dan kembali melihat dua mobil hitam yang sejak tadi mengikutiku. Aku sempat mengira mereka hanya lewat, tapi arah dan jaraknya terlalu konsisten.

"Mobil itu mengikutiku, bukan?" tanyaku, lebih ke diri sendiri.

Dia hanya melirik. "Perasaanmu saja, mungkin."

Namun, beberapa detik kemudian, mobil itu berbelok dan hilang dari pandangan. Aku memutuskan untuk menunda rasa curiga.

Kami tiba di rumah kecilku, bangunan sederhana di pinggiran kota. Rumah ini hasil kerja keras selama lima tahun, meski masih belum lunas.

"Sudah sampai," kataku. Dia diam. Matanya terpejam. Tidur? Atau hanya pura-pura? Aku tak tahu, yang jelas saat ini aku hanya berniat membantunya.

Perlahan, kuangkat tubuhnya dari mobil. Dia terlalu ringan. Terlalu hening. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa... terluka bahkan sebelum mengenalnya.

---

Kubaringkan dia di kasur sempitku. Gaunnya masih basah. Aku tahu aku seharusnya tak memandang, tapi ada sesuatu yang... menarik. Luka, mungkin. Atau kesedihan yang menyeruak dari tiap inci tubuhnya.

Aku masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan pikiranku. Saat keluar, aku dikejutkan oleh pemandangan yang membuat napasku tercekat.

Dia berdiri di dekat pintu kamar mandi, mengenakan kemeja putih milikku. Kemeja itu terlalu besar dan terlalu tipis. Tubuhnya samar terlihat di balik kain.

"Sstt," bisiknya sambil menempelkan telunjuk ke bibirku. "Aku pinjam bajumu hari ini ya?"

Dia tersenyum, lalu duduk kembali di kasur. Seolah semua ini normal. Seolah kami sudah saling mengenal bertahun-tahun.

"Kau juga harus ganti pakaian. Nanti kau masuk angin," katanya.

Aku buru-buru mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi lagi. Saat keluar, dia sedang menatap foto-foto masa kecilku.

"Bajumu terlalu tipis... bisa kau pakai yang lebih gelap? Di lemari sebelah kiri," pintaku sambil menutup mata.

"Oh, maaf!" katanya cepat. Tapi anehnya, dia tetap berganti pakaian di hadapanku. Aku benar-benar kacau. Aku segera berbalik membelakanginya.

"Sudah selesai, tak perlu membelakangi ku lagi."

Aku berbalik setelah menghela nafas panjang. Kupikir gadis ini sedikit kacau dengan pikirannya atau memang dia sengaja berbuat seperti ini aku pun tak tahu

"Namamu siapa?" tanyaku. Dia menatapku dan tersenyum. "Alea." Setelah itu dia duduk bersila, tampak seperti anak kecil yang memakai pakaian orang dewasa. Wajahnya berubah lebih lembut.

"Aku ingin minta maaf sudah menyusahkanmu. Kau pria yang baik. Menjaga matamu, juga pikiranmu. Mungkin... aku sedikit tertarik padamu."

Aku tercekat. Hatiku berdebar, tapi logikaku menahan euforia itu. "Aku melakukan ini pada siapa saja, jadi jangan merasa istimewa."

"Tenang, aku tahu. Aku yang tertarik, bukan kamu."

Sial. Dia gila. Dan aku... lebih gila karena membiarkannya tetap di sini.

"Kau bilang ibumu meninggal?"

"Iya. Karena ayahku. Dia orang jahat. Aku membencinya," jawabnya lirih.

Aku mengangguk pelan. "Aku turut berduka. Aku juga kehilangan ibu di usia 14. Dan ayahku... tidak datang ke pemakaman. Sampai sekarang aku tak pernah melihat kehadirannya lagi. Entah dia sudah tiada atau masih hidup di luar sana aku pun tak tahu."

"Tapi kau mengenal Ayahmu bukan?"

"Entahlah, kalau saja dia operasi plastik mungkin aku tak mengenal wajahnya lagi. Karena kami tidak berjumpa 15 tahun lamanya..."

"Eh... Maaf aku terlalu banyak cerita padamu. "

Dia tersenyum. Kami saling diam. Hanya suara hujan dan jam dinding yang berdetak pelan.

Aku akhirnya mengambil selimut dan tidur di lantai. Tapi sebelum tidur, aku menoleh ke arah jendela. Mobil hitam itu-terparkir tak jauh dari rumah. Saat kutoleh ke Alea, dia termenung. Tatapannya jauh, tapi wajahnya terlihat damai. Saat kutatap ke luar lagi... mobil itu telah menghilang.

"Arnan..." panggil Alea pelan. Aku menoleh cepat. Dia tahu namaku. Padahal aku belum pernah memberitahunya.

Continue Reading
img View More Comments on App
Latest Release: Chapter 5 Kilas Balik   Yesterday 16:47
img
MoboReader
Download App
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY